Wednesday, January 25, 2017

Indonesia Tentram Tanpa Ulah SBY dan Rizieq

DUNIA HAWA - Saat ini masalah Indonesia ada dua, SBY dan Rizieq. Dua orang ini kerap membuat masyarakat geram sekaligus waswas. Mereka tak henti-hentinya menebar ketakutan demi ketakutan, informasi negatif dan berlebihan yang entah untuk tujuan apa. Tapi yang jelas menguras emosi masyarakat dan mungkin berhasil membuat sebagian investor menahan diri untuk berinvestasi di Indonesia.


Agustus 2015, SBY memaksa pemerintahan Jokowi untuk mengakui bahwa negara sedang darurat ekonomi. “Bukan dosa atau kejahatan terjadi di Indonesia. Yang penting pemerintah akui ini ada masalah, cari solusi, tetapkan kebijakan dan dijalankan sepenuh hati. Jangan kecil hati kalau ada permasalahan yang fundamental bahkan serius, karena dalam dunia yang penuh ketidakpastian, hal seperti ini bisa terjadi,” kata SBY.

Kata-katanya seolah begitu peduli terhadap negeri ini, namun di balik itu semua jelas terdapat unsur klaim sepihak bahwa negara sedang darurat ekonomi, seolah mau bangkrut. Padahal waktu itu hanya terjadi kenaikan dollar terhadap rupiah, yang sebenarnya sangat biasa bagi orang yang belajar ilmu ekonomi serta memahami nilai tukar uang.

Kemudian yang terbaru adalah doanya yang seolah negara ini sedang buruk-buruknya. “Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar “hoax” berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang?” tulis SBY di twitter.

Padahal apa sih yang terjadi di negara ini? Hoax macam apa yang membuat SBY mengeluh kapan rakyat dan yang lemah menang? Apa hubungannya dengan hoax? Ambil contoh hoax 7 juta orang pendemo di Monas, apakah itu membuat rakyat dan yang lemah jadi kalah?

SBY jelas hanya menjadi provokator yang membuat keruh suasana, seolah-olah negeri ini sedang darurat ekonomi, sedang hancur karena hoax dan seterusnya. Padahal, silahkan dipikir dan dijawab, bagaimana kondisi negara saat ini? Ekonomi bagus, infrastruktur dibangun dan tak ada yang mangkrak seperti kerjanya SBY. Tantangan berat pemerintah saat ini adalah soal radikalisme dan propaganda menggunakan agama.

Selain SBY, ada juga Rizieq. Lihatlah tingkah dan ulahnya beberapa hari terakhir. Menyebut uang rupiah ada lambang palu arit PKI. “Ini membahayakan. Karena itu kita minta pemerintah segera tarik uang kertas baru dari pecahan seribu sampai seratus ribu yang semuanya memberikan persepsi ada logo arit PKI di mata uang keras Indonesia.”

Gara-gara manusia satu ini, BI harus klarifikasi, Menkeu juga dipaksa menjawab pertanyaan wartawan soal palu arit. Polisi diberi kerjaan memeriksa Rizieq. Padahal, logo BI yang dituduh palu arit tersebut sudah ada sejak tahun 2000. Sudah sejak lama, lalu mengapa Rizieq baru protes sekarang? 17 tahun pakai uang rupiah, baru sekarang mengeluh ada palu aritnya. Haha

Mengada-ngada


Persamaan SBY dan Rizieq adalah mengada-ngada. SBY mengeluh negara darurat ekonomi, seolah mau bangkrut, padahal itu hanya imajinasinya sendiri. Rizieq pun sama, menyebut rupiah ada logo palu aritnya, imajinasinya sendiri. Coba lihat dan perhatikan uang rupiah dan logo BI nya, apakah benar ada logo palu arit PKI? Bahkan tidak mirip sama sekali.

Tapi karena SBY dan Rizieq sama-sama memiliki fans fanatik, ditambah limpahan anti Jokowi sisa-sisa gagal move on 2014, jadilah isu nasional yang seolah-olah memang ada logo PKI nya, seolah-olah ekonomi buruk dan hoax begitu berkuasa. Padahal hoax apa yang menjadi trending dan paling populer saat ini? Apakah bisa mengalahkan berita dan informasi yang tidak hoax? Jawabannya pasti tidak.

Jumlah fans fanatik SBY dan Rizieq ini sebenarnya hanya seupil. Sedikit sekali. Tapi karena mereka terus bersuara, dan rakyat yang waras sedang sibuk-sibuknya bekerja, jadi seolah-olah masalah tersebut disuarakan oleh banyak masyarakat. Sehingga akhirnya rakyat yang waras pun kini sebagian terkontaminasi oleh isu-isu bodoh yang dilemparkan oleh keduanya. Contohnya saya, gara-gara isu logo PKI di uang kertas rupiah, saya sampai kumpulkan aneka pecahan rupiah dari seribu sampai 100 ribu. Hahaha

Saya melihat SBY dan Rizieq ini sering membuat kegaduhan dan membuat rakyat waswas. Jangan-jangan benar ada logo PKI? Jangan-jangan benar Indonesia akan bangkrut, yang bilang mantan Presiden lho. Dan seterusnya.

Apa yang dilakukan SBY dan Rizieq ini sangat mengganggu dan tidak baik untuk perkembangan negara kita. Rakyat dibuat waswas oleh hal-hal yang mengada-ngada dan imajinasi sepihak. Padahal kita bisa bahas kinerja pemerintah, apakah sudah bagus apa belum? Bagian mana yang masih kurang dan harus diperbaiki. Tapi lihatlah sekarang, polisi dibuat sibuk dengan penyelidikan logo palu arit, anggota FPI yang katanya mengawal Rizieq itu pun membuat polisi mengerahkan pasukan pengamanan. Keluar biaya lagi. Ini kan sebenarnya hal-hal yang tak perlu terjadi.

Terakhir, saya kira kalau SBY dan Rizieq mengeluarkan kalimat yang lebih cerdas, seharusnya kita tak perlu membahas hal-hal bodoh dan mengada-ngada. Indonesia akan lebih tentram jika tanpa ulah SBY dan Rizieq.

Begitulah kura-kura

@alifurrahman


Fahri Hamzah Dituntut TKI di Hongkong

DUNIA HAWA - Ucapan Fahri Hamzah yang dicuitkannya lewat akun medsos. Banyak membuat sebagian masyarakat marah. Hal ini sangat wajar karena apa yang telah dilakukan Fahri tidak mencerminkan dirinya sebagai perwakilan rakyat.


Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri tentunya akan merasa terluka dengan mulut dan sikap dari Fahri Hamzah yang mengatakan mereka adalah mengemis menjadi babu. Sementara Fahri sendiri di gaji oleh mereka (rakyat) Indonesia. Maka sebenarnya Fahri lah yang menjadi ‘babu’ rakyat, tetapi ‘babu’ yang sok menjadi majikan.

Melakukan tindakan tanpa berpikir, mencermikan seseorang tersebut adalah gegabah, dangkal, dan memiliki rasa panik yang kronis bahkan bisa dikatakan tidak memanfaati akal dengan baik. Dia (Fahri) mungkin lupa bahwa sekarang ini adalah era teknologi salah satu karya teknologi tersebut adalah medsos. Dan dia tidak berpikir apa yang dituliskannya lewat medsos akan banyak diketahui dan cepat tersebar bahkan meluas sampai ke luar negeri.

Wakil rakyat di Nusantara bahwa di DPR sebagian tidak menjadikan kantor tersebut sebagai menyuarakan aspirasi rakyat melainkan sibuk berlomba untuk berkarya politik. Hingga tindakan dan pekerjaan yang dilakukan hanya untuk sebuah nama dan kepentingan sepihak. Lihat saja contohnya Fadli Zon dan Fahri Hamzah.

DPR sebaiknya peka dengan dua orang ini, dan segera mempertimbangkan kelayakannya sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. Jika tidak maka tidak menutup kemungkinan dua orang ini akan kembali berulah dan bertindak BUKAN untuk kepentingan rakyat banyak.

Alhamdulilah, apa yang telah dilakukan Fahri menuai amarah dari TKI di Hongkong. Saya secara pribadi pun juga akan merakan apa yang dirasakan oleh kawan-kawan yang bekerja diluar negeri, dimana telah mengorbankan tenaga, pikiran, waktu, jauh dari keluarga, berjuang di negeri orang TAPI disebut mengemis menjadi babu oleh Fahri Hamzah sebagai DPR.


Koalisi 55 Organisasi Buruh Migran Indonesia di Hongkong yang tergabung dalam Lingkaran Aku Cinta Indonesia (LACI) mengecam kicauan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah di akun Twitter pribadinya.

Ketua I LACI Nur Halimah menganggap kicauan Fahri telah melecehkan martabat para pekerja Indonesia di luar negeri. LACI, kata Nur, menuntut Fahri meminta maaf.

Dalam kicauannya pada Selasa (24/1/2017) pagi, Fahri lewat akun @Fahrihamzah berkicau, “anak bangsa mengemis jadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela…”. Kicauan itu kini telah dihapus.

“Tahukah Bapak bahwa pernyataan Bapak telah merendahkan martabat dan harga diri kami, para ‘pahlawan devisa’ yang menyumbangkan remitansi sebesar 7,4 miliar dollar AS atau Rp 97,5 triliun untuk memutar roda perekonomian Indonesia,” ujar Nur dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa malam.

Nur mengatakan, bukan hanya kicauan Fahri yang membuat mereka berang dan merasa tak dihargai.

Sebelumnya, kata Nur, dalam sejumlah pemberitaan media, Fahri menyebut bahwa 1.000 TKI di Hongkong hamil dan menyerahkan anaknya ke LSM.

Nur mengatakan, Fahri juga menuding 30 persen TKI di Hongkong mengidap HIV/AIDS. Ditambah melihat kicauan Fahri di Twitter yang menyebut “babu”, Nur mengatakan, dia dan koleganya di Hongkong tak lagi bisa tinggal diam.

“Tahukah Bapak bahwa kami ini pekerja, bukan babu. Kami mempunyai harkat dan martabat,” kata Nur.

“Kami melakukan pekerjaan yang halal dengan setiap tetesan keringat kami, bukan hasil korupsi, apalagi hasil mengemis,” lanjut dia.

Nur mengatakan, para migran di luar negeri tengah berjuang memberi kehidupan yang layak bagi keluarganya di Indonesia. Semestinya, kata dia, pejabat negara seperti Fahri mendukung hal tersebut.

Atas keberatan mereka dengan pernyataan Fahri, LACI menuntut Fahri untuk meminta maaf secara resmi atas semua pernyataannya yang menyinggung buruh migran Indonesia.

“Mendorong MKD DPR RI untuk mengevaluasi kinerja Fahri Hamzah dan mempertimbangkan pencopotan yang bersangkutan dari anggota DPR RI,” kata Nur.

Fahri Hamzah sebaiknya anda segera melakukan klarifikasi dan memberikan penjelasan kepada Indonesia juga kepada TKI di luar negeri, dan anda sebaiknya segera MINTA MAAF jika anda merasa dewan perwakilan rakyat. Karena kawan-kawan TKI di luar negeri jauh lebih terhormat daripada anda yang bekerja mewakili suara rakyat tetapi melukai hati rakyat.

MKD DPR RI hendaknya Fahri Hamzah ini juga termasuk Fadli Zon harus dievaluasi besar-besaran kinerjanya dan pertimbangkan kelayakan mereka di DPR. Dari aksi 411, Pansus terduga makar, dan baru-baru ini menganggap TKI adalah mengemis menjadi babu yang dilakukan Fahri, sungguh tidak menunjukan diri beradab apalagi mewakili suara rakyat.

Kepada kawan-kawan TKI di Hongkong, salut dengan tuntutan kalian. Dan ini menunjukan bahwa kalian tidak bisa dihina begitu saja. Fahri Hamzah jika anda ‘bermoral’ maka sebaiknya anda melaksanakan tuntutan para TKI, buruh migran, yang sudah anda lukai hatinya.

Salah satu yang menunjukan Fahri Hamzah TIDAK bertanggung jawab adalah menghapus kicauannya. Artinya dia tidak bertanggung jawab dengan apa yang telah dilakukannya. Bagaimana mungkin orang yang tidak bertanggung jawab dapat mewakili suara rakyat.

@losa terjal


Kebohongan Asroi, Saksi Pelapor yang Super ‘Lebay’

DUNIA HAWA - Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap sidang yang diikuti oleh Basuki atau Ahok sebagai terdakwa selalu menyuguhkan cerita unik, lucu, dan aneh. Begitu juga dengan sidang yang terjadi kemarin. Kabarnya, kemarin ada lima saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU). Tiga orang di antaranya merupakan saksi pelapor dan dua di antaranya merupakan pegawai Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.


Dari tiga saksi pelapor, satu di antaranya berhasil menarik perhatian netizen. Dia adalah Muhammad Asroi Saputra (36), asal Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Pria yang disapa Asroi ini ramai diperbincangkan lantaran mengatakan bahwa yang menjadi korban dari ucapan Ahok di Kepulauan Seribu itu adalah umat Muslim sedunia. Perkataannya itu jelas tidak begitu saja diiyakan oleh banyak orang. Tanpa mempertimbangkan alasan yang diberikannya, netizen langsung menuduh bahwa saksi yang satu ini lebay.

Saya sendiri tidak langsung mengatakan bahwa Asroi itu lebay. Saya mencoba mengerti alasan di balik ucapannya itu. Saya berpikir bahwa ucapannya itu berangkat dari logikanya yang sederhana. Dalam persidangan kemarin dia memberi alasan mengenai ucapannya itu. Dia berkata, “Karena umat Muslim bersaudara, Pak. Pasti merasakan hal yang sama. Di belahan bumi mana pun, di mana pun, ketika agamanya dinista, pasti akan merasakan hal yang sama”.

Sepintas, ucapan Asroi ini menyerempet logika yang lurus. Jika dirumuskan akan berbunyi seperti ini: “Semua umat Muslim di seluruh dunia bersaudara. Ahok menistakan agama Islam. Jadi, semua umat Muslim di seluruh dunia merasa dinistakan oleh Ahok”. Sayangnya, logika yang lurus (dikatakan lurus sebab konklusinya diturunkan secara logis dari titik pangkalnya) itu ternyata tidak benar sebab tidak sesuai dengan kenyataan.

Berdasarkan ucapannya itu, tampak sekali bahwa Asroi mencoba melepaskan ucapan Ahok dari konteks yang sebenarnya terjadi. Ia juga lupa bahwa tidak semua orang sepakat mengatakan bahwa Ahok menistakan Islam. Kita tahu bahwa sejak awal kasus ini bergulir sudah ada pro dan kontra di masyarakat. Bahkan, sudah jelas juga bahwa ada satu kata dari ucapan Ahok itu yang sudah dihilangkan oleh Buni Yani.

Asroi menginginkan agar logika yang disuguhkannya bukan hanya lurus tetapi juga benar. Sayangnya, kebenaran itu tidak akan pernah ada sebab sudah langsung terbantahkan oleh pernyataan saksi fakta yang bernama Yuli Hardi. Pria yang merupakan Lurah Pulau Panggang itu hadir pada saat Ahok menyampaikan pidato yang dianggap menistakan agama Islam itu. Menurutnya, tak ada warga Kepulauan Seribu yang protes saat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyinggung surat Al-Maidah ayat 51 dalam sambutannya.

Jika pernyataan yang disampaikan oleh Yuli Hardi ini dibandingkan dengan ucapan yang diutarakan oleh Asroi jelaslah bahwa yang paling mendekati kebenaran adalah pernyataan Yuli Hardi sebab dia ada di tempat itu pada saat kejadian dan dia berbicara berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan.

Dengan demikian, pernyataan Asroi yang mengatakan bahwa ucapan Ahok di Kepulauan Seribu pada September lalu itu melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia jelas telah mengesampingkan umat Islam di Kepulauan Seribu sebagai bagian dari umat Islam sedunia. Padahal, jika dipikir-pikir, jangankan umat Islam di seluruh dunia, umat Islam yang ada di Kepulauan Seribu saja tidak tersinggung dengan perkataan Ahok. Nah, kalau begitu bagaimana kita bisa percaya bahwa umat Islam di seluruh dunia merasa terluka oleh ucapan Ahok? Apa buktinya? Dari situlah, saya akhirnya sepakat dengan para netizen bahwa Asroi ini lebay.

Sepertinya, Asroi ini tidak paham apa sebenarnya yang sedang terjadi. Betul bahwa secara logika apa yang dikatakannya itu sudah lurus tetapi pada saat yang sama juga tidak benar sebab tidak sesuai dengan kenyataan. Oleh karena tidak sesuai dengan kenyataan (bahkan melebih-lebihkan kenyataan yang sebenarnya), maka perkataannya itu pantas disebut lebay.

Padahal, jika kita ingin berbicara soal siapa yang seharusnya tersinggung, maka jelaslah harus dikatakan bahwa umat Islam yang ada di Kepulauan Seribulah yang seharusnya pertama kali merasa tersinggung dengan ucapan Ahok itu, bukan umat Islam di seluruh dunia. Apakah iman umat Islam di Kepulauan Seribu masih kurang seperti yang dikatakan oleh Novel sehingga mereka sampai-sampai tidak menyadari bahwa Ahok sedang menistakan agama mereka? Sekali lagi, saya harus mengatakan bahwa Asroi ini super lebay.

Sebagai orang yang tidak paham hukum, saya hanya bisa bertanya-tanya, apa mungkin Ahok akan dihukum hanya gara-gara kesaksian dari orang-orang yang selama ini memberikan kesaksian berdasarkan logika sendiri dan kesaksian palsu? Apa adil jika Ahok dihukum hanya gara-gara kesaksian dari orang yang lebay semacam itu?

Lagi pula, satu hal yang cukup mengherankan buat saya yakni bagaimana mungkin orang yang sama sekali tidak ada di tempat kejadian dijadikan saksi? Kesaksian macam apa yang bisa dikatakan oleh orang seperti itu jika bukan kesaksian palsu dan kesaksian yang lebay? Maka jangan heran jika selama ini sidang kasus Ahok seperti panggung stand up comedy yang menampilkan cerita-cerita lucu.

Ya, tidak harus sekolah tinggi untuk menilai bahwa kesaksian yang diberikan oleh para saksi pelapor selama ini isinya bohong. Mengapa bohong? Jawabannya sederhana: mereka memberikan kesaksian bukan berdasarkan apa yang mereka lihat di tempat kejadian sebab mereka tidak hadir di tempat kejadian; tetapi mereka memberikan kesaksian berdasarkan ‘kata orang’ dan penafsiran sendiri. Kebohongan mereka semakin nyata ketika orang yang benar-benar ada saat kejadian justru membantah kesaksian yang mereka berikan.

Maka dari itu, sebagai orang yang awam soal hukum, jalan pikiran saya sederhana: mestinya keputusan di pengadilan didasarkan pada fakta yang terjadi di lapangan, bukan berdasarkan ‘menurut si A dan atau menurut si B’. Jika apa yang saya pikirkan itu betul, maka mestinya (berdasarkan kesaksian yang sudah-sudah) nantinya Ahok akan diputuskan bebas. Semoga demikian.

@jufri kano


Habib Rizieq-ku Sayang, Habib Rizieq-ku Malang

DUNIA HAWA - Untuk memulai tulisan ini, izinkan saya bertanya, siapakah tokoh yang belakangan ini baik di akhir tahun 2016 maupun di awal tahun 2017 yang menjadi topik pembicaraan di berbagai media? Siapa lagi kalau bukan Habib Muhammad Rizieq Shihab. Habib Rizieq selama ini dikenal sebagai pimpinan utama ormas Islam Front Pembela Islam (FPI), ormas yang berkantor pusat di daerah Petamburan Jakarta Pusat dan memiliki cabang di beberapa daerah di Indonesia.


Sekarang ini, publik tahu betul dengan geliat dan sepak terjang FPI yang dikenal anarkis dan radikal karena para pengikutnya kerap merazia kafe dan bar, membubarkan acara dan diskusi yang di dalam tafsir mereka dapat menciptakan keresahan di masyarakat, mengawal dan mensosialisasikan fatwa MUI yang terkadang menggunakan ancaman hingga kekerasan, dan masih banyak lagi. Walaupun demikian, kita juga harus adil dan jujur mengakui bahwa FPI adalah ormas yang banyak bergerak di bidang sosial yang kerap turun langsung membantu korban bencana alam di berbagai daerah. Sayangnya, hal ini jarang diekspos oleh media.

Popularitas FPI sebagai ormas yang berbajukan Islam mencapai puncaknya tatkala pimpinannya, Habib Rizieq, dapat mengumpulkan dan menggerakkan berbagai elemen umat Islam yang datang dari berbagai ormas dan aliran (yang terkadang tidak rukun) untuk mendemo Ahok, sang gubernur petahana DKI Jakarta, yang beragama Kristen karena pidatonya di Pulau Seribu -yang menjadi viral di media sosial- dianggap menistakan Islam.

Habib Rizieq kemudian menjadi di atas angin. Ia mendapatkan panggung untuk unjuk gigi. Ia menjadi tokoh utama dan inisiator demo yang bertajuk Aksi Bela Islam 411 untuk memenjarakan Ahok.

Habib Rizieq tampil dengan percaya diri karena ia mengklaim bahwa aksinya didukung oleh seluruh umat Islam Indonesia (meskipun faktanya tidak) dan dilegitimasi oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengatakan bahwa Ahok telah menistakan Islam. Hal terakhir ini yang kemudian mendorong Habib Rizieq untuk membentuk Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) bersama Bahtiar Nasir, Zaitun Rusmin, dkk.

Presiden Jokowi pun tak luput dari ancaman Habib Rizieq. Ia mengancam akan menjatuhkan Jokowi bila keinginannya diabaikan. Jokowi ditekan dengan isu pelindung Ahok. Ia juga mendesak Kapolri, Jenderal Tito Karnavian agar Ahok segera dijadikan tersangka.

Karena desakan Habib Rizieq dan massanya, Ahok akhirnya berhasil dijadikan tersangka oleh Polri dalam waktu yang relatif singkat. Habib Rizieq berjanji untuk mengawal terus kasus Ahok di pengadilan sampai Ahok benar-benar dipenjara.

Habib Rizieq kemudian menjadi jemawa dan arogan. Ia merasa diri paling hebat. Apapun yang ingin diucapkan, tak lagi dipikir dan disaring.

Habib Rizieq kemudian melakukan lagi aksi damai di bulan Desember yang bertajuk Aksi Damai 212 untuk menuntut agar Ahok segera dipenjarakan dan ia mengklaim berhasil mengumpulkan massa sebesar tujuh juta yang hingga saat ini jumlah tersebut masih diperdebatkan. Sayangnya, di momen tersebut, aksinya tak berjalan begitu sempurna karena panggungnya berhasil dicuri oleh Jokowi, sehingga ia menjadi sedikit kalah pamor.

Jokowi memang merupakan pemimpin yang keliatan lugu dan ndeso, tetapi ia memiliki strategi politik yang cerdik dan sulit terbaca oleh lawan. Ia mewarisi visi kebangsaan Soekarno, kecerdikan strategi soeharto, sisi kemodernan Habibie, dan sisi pluralisme dan kekocakan Gusdur.

Untuk pelan-pelan meredam dan menghantam Habib Rizieq yang dianggap dapat merongrong dan menghancurkan kewibawaan negara, Jokowi dan aparatusnya melakukan operasi senyap untuk menangkap pihak-pihak yang dianggap mendukung aksi Habib Rizieq. Buni Yani sang pengedit video Ahok dijadikan tersangka. Ahmad Dhani, Rahmawati Soekarno Putri, Sri Bintang Pamungkas, dan beberapa aktivis diamankan oleh kepolisian karena dituduh berniat makar. Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang dulu tampil sok jagoan dibelakang Habib Rizieq ketika Aksi Bela Islam 411 lebih memilih keluar negeri daripada ikut serta dalam Aksi Damai 212. Para pendukung Habib Rizieq mendapatkan terapi kejut dan mereka pun akhirnya tersungkur satu demi satu.

Habib Rizieq dengan sisa-sisa kekuatannya tetap berusaha tampil mencari panggung. Para pengikutnya menyerukan agar Habib Rizieq didaulat menjadi imam besar umat Islam Indonesia. Akan tetapi, ia ditolak oleh berbagai elemen umat Islam, termasuk GP Ansor di Manado, Banten, Batam dan berbagai elemen umat Islam lainnya.

Habib Rizieq seperti biasa tetap menyibukkan diri bersafari dan berceramah disana-sini untuk menghantam Ahok. Namun, ia tak menyadari bahwa omongannya ternyata jauh lebih ‘pedis’ dibandingkan Ahok. Dia menghina Pancasila, memplesetkan bahasa Sunda sampurasun menjadi campur racun, menuduh adanya logo palu arit PKI di uang rupiah baru, menghina profesi hansip, melakukan penistaan terhadap konsep ketuhanan Kristen. Semua bentuk penghinaan itu terekam dengan baik di berbagai media sosial. Hal ini di kemudian hari dijadikan dasar untuk melaporkan Habib Rizieq ke pihak kepolisian.

Habib Rizieq mungkin menganggap bahwa dirinya kebal terhadap hukum, sehingga ia berani asal bicara alias asbun. Habib Rizieq barangkali lupa bahwa banyak orang termasuk umat Islam sendiri, sejak dulu telah jenuh dan muak dengan ucapan dan perilakunya. Masih teringat beberapa tahun silam, Habib Rizieq pernah menghina fisik Gusdur ‘buta mata buta hati’ di salah satu stasiun tv swasta.

Sifat ringan mulut ini ternyata di kemudian hari menjadi senjata yang memakan dan melemahkan sendiri kekuatan Habib Rizieq. Karena mulutnya, ia dilaporkan ke kepolisian secara serentak oleh berbagai pihak. Pihak kepolisian pun dengan gesit menindaklanjuti laporan-laporan tersebut.

Pihak kepolisian pun tak segan-segan mengancam akan menjemput paksa Habib Rizieq bila ia mangkir dari pemeriksaan. Bisa dibayangkan, betapa malunya Habib Rizieq ketika ia dijemput paksa oleh polisi. Energi Habib Rizieq akhirnya terkuras habis karena ia sibuk menghadiri panggilan pemeriksaan disana-sini.
Sebaliknya, publik menjadi lebih simpati dengan Ahok karena para saksi pelapornya -yang nota bene orangnya Habib Rizieq- ternyata penuh dengan kejanggalan dan inkonsistensi ketika bersaksi di pengadilan. Ternyata, tak ada satupun dari saksi pelapor itu yang menyaksikan langsung pidato Ahok di Pulau Seribu. Habib Rizieq akhirnya keok. Sekarang ia tak lagi menjadi singa yang ganas seperti dulu, karena giginya satu-satu telah dicopot.

Ia terpaksa harus meminta perlindungan di kawan lamanya di DPR, yakni Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Tetapi, kedua anggota DPR tersebut juga tidak segarang dulu, karena mereka sekarang memilih main aman karena ekornya telah dipegang dan dikendalikan oleh Jokowi.

Habib Rizieq juga meminta mediasi dari Polri terhadap kasus yang membelitnya agar tak ada lagi aksi saling lapor-melapor karena dianggap dapat menciptakan konflik horizontal. Ia juga meminta hak klarifikasi terhadap video ceramahnya yang dipotong-potong agar tidak menimbulkan salah tafsir.

Di sisi lain, MUI Pusat melalui ketua umumnya, Ma’ruf Amin menegaskan bahwa GNPF-MUI (gerakan yang dibentuk oleh Habib Rizieq) tidak ada kaitannya dengan lembaga MUI baik secara struktur maupun non-struktur. Tentu pernyataan ketua umum MUI pusat ini merupakan pukulan telak bagi Habib Rizieq.

Publik yang belakangan ini berbalik simpati pada Ahok akhirnya menertawai Habib Rizieq, sang singa ompong, karena ia ingin diperlakukan secara adil tetapi ketika taringnya masih tajam, ia tampak begitu ganas dan semena-mena menerkam Ahok. Yang ada di mulutnya waktu itu hanyalah: “tangkap Ahok, penjarakan Ahok, dan bunuh Ahok”. Tak ada keinginan sama sekali darinya untuk bertabayyun (mengklarifikasi/ mencari tahu kebenaran) pada Ahok.

Saya tak menaruh kasihan pada Habib Rizieq karena ia terlalu besar untuk dikasihani oleh orang kecil seperti saya. Saya hanya kasihan dengan orang-orang yang selama ini tertipu dengan simbol dan atribut Islam yang kerap dijual oleh Habib Rizieq.

Mungkin Habib Rizieq perlu membaca ulang lembaran sejarah hidup Rasulullah Muhammad SAW agar ia dapat sadar kembali bahwa kebesaran Rasulullah bukan karena ancaman, umpatan, dan tajamnya pedang, melainkan karena keindahan dan kelembutan akhlakNya.

Kata bang Haji, engkau sungguh terlalu ya bib.

@taufani


Puisi Indah Buat Bang EFHA

DUNIA HAWA

Babu, itu katamu..
Seakan tiada lagi kata yang lebih baik bagi mereka yang sedang berjuang di tempat jauh..
Mungkin kamu tidak tahu
Tiga tahun lalu mereka semua memasukkan uang lebih dari 100 triliun rupiah..
Dua tahun lalu mereka bawa lebih dari 140 triliun rupiah
Dan kemarin diharapkan tumbuh karena ada kenaikan upah di Timur Tengah
Kita sejak lama menggelari mereka sebagai Pahlawan devisa
Karena ditengah lesunya ekonomi negara
Merekalah penyelamatnya..
Dengan semua apa yang mereka lakukan
Tetap kau beri nama mereka Babu
Sebutan yang sangat merendahkan..
Okelah, tuan..
Yang duduk di ruang dingin di Senayan
Yang kalau rapat tidur sampe ngiler tak tertahan
Kadang datang, seringnya enggan
Berjas tapi jarang bercelana dalam
Hidup ditunjang dari uang sidang
Maukah kau kuberi gelar
Yang sesuai dengan apa yang kau kerjakan

Dengan tanpa merendahkan..
Kita panggil saja dirimu Penjual Congor..
Modal ngomong ampe jontor
Kadang rusak kayak dislepet tali kolor
Kadang muncung kayak pinggiran kompor
Bentar, itu bibir apa traktor?
Ah, jadi ingat kabar lama..
Ada yang dipecat dari partainya
Lalu mau ditendang dari kursinya
Sesenggukan di depan media
"Nanti keluargaku makan apa?"
Ternyata babu yang kau bilang itu..
Jauh hidup lebih terhormat
Mereka hidup dari hasil keringat
Bukan makan dari hasil menjilat..
Sudah malam, puas hatiku..
Secangkir kopi telah kuseduh
Ingin kutawarkan padamu
Sini duduk dekatku..
Aku minum kopinya
Cangkirnya buat kamu..
Jangan ditelan
Kunyah aja perlahan..
Krauk.. krauk.. krompyang..

Mirip kuda lagi lebaran.

@denny siregar


Seandainya Wiji Masih Ada

DUNIA HAWA - Yang Bisa Dipetik dari "Istirahatlah Kata-Kata"


Jangan menyembur-nyembur

Orang-orang bisu

Kembalilah ke dalam rahim

Segala tangis dan kebusukan

Dalam sunyi yang mengiris

Tempat orang-orang mengingkari

Menahan ucapannya sendiri

Tidurlah kata-kata

Kita bangkit nanti

Menghimpun tuntutan-tuntutan

Yang miskin papa dan dihancurkan

Nanti kita akan mengucapkan

Bersama tindakan

Bikin perhitungan

Tak bisa lagi ditahan-tahan

* Wiji Thukul, Istirahatlah Kata Kata


Begitulah puisi karya Wiji Thukul, seorang aktivis yang hilang dalam upaya reformasi 1998. Sosoknya yang menghilang kini semakin banyak dan berlipat ganda di social media. Masyarakat bereuforia menonton film otobiografi Wiji Thukul yang berjudul ‘Istirahatlah Kata-Kata.’

Tulisan ini sama sekali tidak ingin mengupas film karya sutradara Yosep Anggi Noen itu, sebaliknya, tulisan ini justru membawa tafsiran lain soal pesan-pesan Wiji Thukul dan relevansinya pada persoalan masyarakat kita saat ini.

Istirahatlah Kata-Kata, bukan meminta seseorang untuk bungkam. Sebaliknya, Wiji Thukul menulis syair itu dengan hidup melalui kata-katanya. Sebuah ajakan untuk mempertahankan kehidupan tetap manusiawi melalui perjuangan yang lahir dari kesadaran kolektif. Rasa senasib dan seperasaan sebagai masyarakat yang terhimpit dengan kemiskinan serta kepemimpinan yang otoriter.

Lihat saja bagaimana Wiji mengajak pembaca untuk jangan terus berkata-kata tetapi melakukan perjuangan bersama untuk menggulingkan rezim dan memperjuangkan demokrasi. Oleh sebab itu, saat saya menonton film ini, saya malah jadi berpikir, apakah kita saat ini sedang berada pada nafas perjuangan yang sama?

Tidak. Mengapa?

Dalam kacamata saya, saat ini kita tidak sedang menghadapi permasalahan bangsa yang sama. Kita justru berada jauh dari perasaan senasib dan seperasaan. Mungkin inilah kondisi kita saat ini, kita tidak mengenal apa sih musuh kita bersama, sehingga kita dengan mudah terprovokasi untuk bermusuhan satu sama lain lewat argumen-argumen bernafaskan kebencian.

Kita tidak bisa mengistirahatkan kata-kata. Kita terus berperang lewat kata-kata di social media. Dari mulai menyebarkan berita dan informasi yang memprovokasi. Di sisi lain juga ada yang melakukan akso kontra dengan menyebarkan kata-kata persatuan dan kesatuan.

Tak hanya kata-kata, kita juga menggencarkan tindakan. Aksi demonstrasi yang tak kunjung selesai. Aksi penolakan terhadap suku, ras, dan agama tertentu. Memang sejak dulu menjadi golongan minoritas adalah sasaran empuk amukan massa.

Menonton kisah perjalanan Wiji Thukul yang berlari-lari sebagai buronan pemerintah, saya malah berpikir, apa yang terjadi dengan pemerintah kita saat ini? Ada dengan masyarakat kita? Mengapa kita seperti kehilangan induk yang akan menentramkan dan menjaga kita? Di sisi lain kita pun tidak memiliki lagi perasaan senasib sebagai bangsa?

Jika anda bertanya, siapa musuh kita saat ini, saya masih selalu sepakat dengan syair Wiji Thukul. Kita masih berhadapan dengan masalah kesenjangan sosial. Salah satu contohnya adalah kemiskinan. Konteks sosial satu ini akhirnya menjadi dalih bahwa orang miskin pasti memiliki sumbu emosi yang pendek. Orang miskin cepat terprovokasi, orang miskin cepat dimobilisasi membentuk gerakan demonstrasi. Itulah mengapa kita mengenal istilah demo bayaran.

Disitulah kita berpisah. Musuh yang kita hadapi atas nama bangsa Indonesia saat ini memiliki wujud yang berbeda. Ibaratnya, seperti bunglon, musuh itu mengelabuhi dan membuat kita mudah terprovokasi untuk menyerang satu dengan lain. Kita berpisah dari perbedaan SARA dan juga pilihan politik. Sepertinya, ceritera tentang cita-cita bangsa Indonesia sudah tak laku lagi diumbar-umbar di tengah peliknya permasalahan Indonesia yang masih harus berhadapan dengan persaingan global.

Di situlah menurut saya kita harus menjernihkan kembali apa musuh bersama kita saat ini? Korupsi? Ah itu basi, itu zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Rezim Otoriter? Ah, itu basi, zaman Presiden Soeharto. Musuh Kolonialisme seperti yang diungkapkan beberapa ormas? Mungkin yang bersangkutan kurang membaca beberapa literatur tentang sejarah kemerdekaan Indonesia.

Lalu siapa musuh bersama kita sekarang? Komunisme? Buruh China? Ini logika yang konyol menurut saya, karena mungkin yang mempopulerkan anti kolonialisme haruslah anti komunisme dan anti China harus bisa membedakan, tidak semua orang China itu kaya menjadi penguasa modal. Serta tidak semua orang Indonesia yang lebih suka dibilang pribumi itu miskin, beberapa juga menjadi tuan besar dan memperbudak sesamanya.

Jika yang kita lawan adalah penistaan, tentulah itu adalah penistaan terhadap akar bangsa kita yaitu Pancasila. Sebuah ideologi khas, khusus, disusun untuk Indonesia, dan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Itulah mengapa menjadi sangat lucu jika kondisi politik bangsa kita memanas jelang Pilkada namun begitu reaktif terhadap segala istilah masa lalu, seperti orang yang lupa sejarah, seperti kacang lupa kulitnya.

Muncul isu komunisme lewat lambang palu arit, lalu muncul juga isu kolonialisme, antek China, Amerika, dan lain-lainnya. Seperti orang tidak waras yang kehilangan akal, dan kita hanyut dalam merespon hal itu tanpa berusaha menjernihkan pikiran itu.

Menjadi jelas bagi saya, tanpa bermaksud mensakralkan, bahwa yang seharusnya menjadi musuh kita bersama saat ini adalah orang-orang yang berniat meruntuhkan Pancasila sebagai dasar negara. Boleh saja orang berpendapat Pancasila berada dalam kawasan abu-abu. Mengapa? Maklum saja, hubungan agama dan negara di Indonesia ini tidak jelas masuk dalam ruang privat ataukah ruang publik.

Wiji Thukul dan kawan-kawan aktivis masa lalu mungkin tidak menghadapi peperangan horizontal, antar masyarakat karena adanya perasaan senasib ditindas oleh rezim. Mereka bisa membina gerakan yang terstruktur dan sistematis karena kesamaan visi. Itulah yang tidak kita miliki saat ini, menyedihkan. Oleh sebab itu, saya menganggap enteng bahwa akan terjadi revolusi untuk kesekian kalinya. Alasan? Kita tidak senasib sepenanggungan.

Usai menonton Istirahatlah Kata-Kata saya malah membatin, jika Wiji Thukul masih ada saat ini, syair apa yang akan dia ciptakan merespon permasalahan bangsa? Akankah dia setia untuk menjaga keutuhan bangsa, memperjuangkan hak-hak mereka yang miskin dan mengalami ketidakadilan karena mereka minoritas?

Ingat, minoritas tak selalu soal kuantitas, apalagi yang berkaitan dengan SARA. Minoritas juga mereka yang tersisihkan, miskin dan dijadikan kambing hitam. Selama permasalahan kesejahteraan dan kemanusiaan tidak mendapat perhatian masyarakat, dan kita hanya menuntut dari pemerintah (sementara pemerintah nampaknya abai saja), kita akan selalu terjebak pada adu domba politik identitas.

Semoga Wiji Thukul ada dan terus berlipat ganda!

Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu

Apa gunanya ilmu

Kalau hanya untuk mengibuli

Apa guna baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu

Di mana-mana moncong senjata

Berdiri gagah

Kongkalikong

Dengan kaum cukong

Di desa-desa

Rakyat dipaksa

Menjual tanah

Tapi, tapi, tapi, tapi

Dengan harga murah

Apa guna baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu


@gloria fransisca katharin