Sunday, January 22, 2017

Dear Bibieb, Bagaimana Kabarmu Hari Ini?

DUNIA HAWA - Aduhh.. Bibiep unyu-unyu kemana ya sekarang? Kangen lhoo udah lama gak kedengeran koar-koarnya lagi.. Katanya antum Imam Besar Umat Muslim se-Indonesia Bieb? Kok jadi keok gini sekarang yak.. Baru juga mau masuk ronde 1 lho.. Masa udah minta time out dan dimediasi?


Saya kan nge-fans sama Bibieb.. gak ada antum gak rame Bieb.. Beneran deh, diem-diem saya selalu memantau pergerakan Bibieb dan para Laskar Cyber Army (hah?) yang unyu-unyu ituh.. Itu suatu hiburan tersendiri buat saya. Dari kelakuan-kelakuan mereka saya belajar bersabar, tarik nafas panjang, dan jadikan lawakan saja

Saya sempat sedih kalo denger berita Bibieb lagi-lagi masuk rumah sakit, yang kecapaianlah, yang ‘katanya’ sakit (maaf) ambeyen lah, pernah juga saya dapat kabar Bibieb sakit DBD. Herannya kalau habis aksi besar-besaran kenapa antum selalu sakit ya, Bieb? Saya berdoa dalam hati semoga Bibieb cepat sembuh, dan segera menghadirkan lawakan lagi di Indonesia.

Kelakuan laskar antum memang ajaib Bieb. Beyond logic. Prinsipnya selalu ‘pokoknya’. Kalau pelintir berita juga jago banget. Setiap fakta jadi punya 2 versi kalau diterbitkan oleh laskar Bibieb. Kalau ‘ngarang hoax juga gak tanggung-tanggung. Semua foto asal comot dari google pun diklaim suka-suka. Dikit-dikit teriak “Kami Dikriminalisasi”, “Umat Islam diserang”, “Revolusi”. Fenttuuuung! Tapi saya dapat pelajaran berharga dari sini. Netizen jadi semakin sadar dan bersatu menyerukan “Anti Hoax”. Kami jadi dipacu untuk selalu cross check dan re-check lagi semua berita yang kami terima. Syukron, Bieb.


Maka seharusnya yang bergelar Habib itu menyebarkan cinta dan kasih sayang, bukan kebencian. Saya usul kalau yang menyebarkan kebencian sebaiknya dipanggil Hate-Bib saja

Meme di atas mengutip syair lagu yang beken dinyanyikan oleh Bee Gees di tahun 1977, dengan judul How Deep Is Your Love. Frasa ‘How Deep’ disini diplesetkan menjadi Habib yang memang bunyi pengucapannya hampir mirip. #cocoklogi dikit-dikit boleh dong kakak… 

Habib is your love.. (Betul karena makna Habib adalah Yang Tercinta)
Habib is your love.. (Betul, Habib adalah Cinta)
I really mean to learn.. (Saya belajar banyak dari Bibieb dan Laskarnya)
‘Cause we’re living in a world of fools..(Betul, no doubt about this)
Breaking us down.. (Nyaris. Hampir. Untungnya masih lebih banyak yang Pro NKRI)
When they all should let us be.. (Membiarkan kalian ngungsi ke Republik Bumi Datar? OKEEH!)
We belong to you and me.. (Aww.. so sweet Bieb, saya kutip Mas Anang ya, “Kalo aku sih Noo..”)

Bieb, pesona antum memang warbiyasaaah. Luber, melimpah keluar dari gelas takaran. Bibieb sekarang dicari-cari masyarakat Sunda, Dayak, dan Bali. Berbondong-bondong Ormas, LSM, Masyarakat, Forum, maupun Perkumpulan melaporkan Bibieb. Penolakan terjadi hampir merata di semua wilayah Bumi Pertiwi. Dari Batam, Kalimantan Tengah, Bali, Jawa Barat, dan banyak lagi wilayah lainnya. Kenafaa Bieb Kenaffaah?

Besok hari Senin 23 Januari saya baca Bibieb mau ada acara di 2 lokasi ya. Pemeriksaan soal Logo BI yang katanya ada Palu Aritnya di Polda Metro Jaya, Jakarta. Dan gelar perkara kasus Penghinaan Pancasila di Polda Jawa Barat, Bandung. Ini luarbinasaaahh, Bieb.. Antum terkenal ya Bieb. Bisa punya dua acara bersamaan di 2 lokasi yang berbeda. Makin ngefans deh sama Bibieb yang unyu ini. Saya jadi penasaran apakah Bibieb akan memilih 1 agenda saja? Atau Bibieb akan memecahkan konsentrasi massa di 2 lokasi? Apa strategi yang akan diluncurkan besok, Bieb?

Saya curiga kalau sekarang semangat jihad Bibieb sudah semakin menyurut. Saya curiga kalau Bibieb sudah mulai merasa takut karena sempet nyenggol ‘Banteng’. Saya juga curiga kalau sponsor-sponsor Bibieb sudah mulai meninggalkan antum dan pura-pura ngga kenal kalau dihubungi. Maafkan saya sebelumnya yang sudah su’udzon, Bieb. Seharusnya saya lebih berperilaku khusnudzon. Berprasangka buruk vs Berbaik sangka. Positive Thinking vs Negative Thinking. Ah, saya mah apalah atuh Bieb.

Mungkin Bibieb hanya sedang lelah. Tetap cemunguddhh ya Bieb. #eeaa

@retha putri


Nama Jokowi Diungkit Dalam Kasus Sylvi

DUNIA HAWA - Cawagub nomor urut 1 Sylviana Murni diperiksa terkait kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) Pemprov DKI Jakarta di Kwartir Daerah Gerakan Pramuka DKI tahun anggaran 2014-2015. Sylvi diperiksa dan dimintai keterangan karena saat itu pernah menjabat sebagai Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov DKI sekaligus ketua Kwarda Gerakan Pramuka DKI Jakarta.


Belum diperiksa saja, banyak pihak yang sudah ketar ketir, ada yang bilang ini sangat bermuatan politis, ada yang menyarakan sebaiknya diusut usai Pilkada. Belum juga ditetapkan sebagai tersangka saja sudah berkomentar seolah menjadi pihak paling dirugikan.

Usai diperiksa sekitar 7 jam, Sylvi akhirnya memberi keterangan kepada awak media yang sudah menunggunya. Sylvi menyampaikan bahwa dirinya mendapat surat panggilan Bareskrim Mabes Polri sehingga mau tak mau ya harus memenuhi panggilan. Dan dalam surat panggilan tersebut memang yang dipanggil adalah nama Sylvi tapi menurutnya ada kekeliruan.

“Di sini pengelolaan dana bansos Pemprov DKI Jakarta, tetapi ini bukan dana bansos tetapi ini adalah dana hibah sesuai dengan,” penjelasannya terhenti. “Sebentar.” Sylviana kemudian menunjukkan sebuah kertas. “Saya akan menyampaikannya dengan bukti-bukti yang jelas,” ucapnya.

Menurut perkataannya dana bantuan sosial ini berdasarkan SK Gubernur Nomor 235 tahun 2014, dikeluarkan pada 14 Februari 2014 yang ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta. “Masa itu (gubernurnya) Pak Joko Widodo,” kata Sylviana. Pada Februari 2014, Jokowi masih menjadi Gubernur DKI dan wakilnya Ahok.

Dari perkataannya menyebut nama Jokowi, lumayan jelas kalau Sylvi ingin menegaskan kalau Jokowi juga harus diperiksa dan ditanyai. Saya bukan menuduh Sylvi menuduh Jokowi terlibat. Begitulah maksudnya, menurut saya sih begitu. Kalau tidak, ngapain sebut-sebut nama Jokowi? Reaksi ini wajar, apalagi jika sedang terlibat kasus, maka biasanya orang akan berusaha memberikan bantahan dengan menyeret nama lain.

Juga disampaikan biaya operasional pengurus Kwarda Gerakan Pramuka DKI Jakarta dibebankan kepada APBD melalui belanja hibah. “Jadi jelas di sini bukan bansos tetapi hibah,” ujarnya. Dana yang diberikan kepada Kwarda Pramuka sebesar Rp 6,8 miliar.

Dari sini saja saya bisa menyimpulkan bahwa yang dipermasalahkan itu adalah pertanggungjawaban dana oleh penerima, bukan masalah bentuk pemberiannya. Yang jadi persoalan adalah pemakaiannya bagaimana, bukan dananya datang dari mana? Masih nggak paham?

Ibaratnya begini nih, saya kasih contoh yang sangat simpel. Ada seseorang berpapasan dengan seorang pengemis lusuh, pakaian kumal, badan dekil dan suaranya sangat pilu meminta sedikit recehan. Orang tersebut merasa iba, lalu mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dan menyerahkannya pada pengemis. Pengemis itu sangat bersyukur dan berterima kasih dan orang tersebut pergi. Setelah tak terlihat, pengemis itu pergi dan menggunakan uang itu untuk membeli bir buat mabuk-mabukan.

Siapa yang salah? Tentunya yang menerima uang lalu tidak menggunakan sebagaimana mestinya. Uang tersebut diberikan karena rasa iba dan orang tersebut berharap semoga uang tersebut dapat meringankan beban hidupnya walau hanya sehari dua hari. Nyatanya disalah gunakan. Orang tersebut sudah berbaik hati memberi uang, uangnya mau disalahgunakan ya urusan si penerima dengan Tuhan.

Masih belum cukup?

Polisi menyebut ada dugaan penyimpangan dalam penggunaan dana hibah tersebut. Adapun terkait posisi Presiden Joko Widodo yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Rikwanto mengatakan penyidik tidak perlu memeriksa yang bersangkutan. Sebab, persoalannya terjadi pada penggunaan dana hibahnya, bukan SK Jokowi sebagai gubernur DKI saat itu.

“SK Pemberian dana hibahnya tidak ada masalah, yang jadi masalah adalah penggunaannya. Sehingga tidak perlu memeriksa beliau (Jokowi),” kata Rikwanto selaku Kepala Divisi Humas Polri.

Lalu terkait dana bansos yang diprotes oleh Sylvi merupakan dana hibah, penggunaan kata ‘Bansos’ adalah karena laporan pengaduan masyarakat yang menyatakan ada dugaan tindak pidana korupsi penggunaan dana bansos. Bansos dan hibah memang beda, tapi sama-sama harus dipertanggungjawabkan.

Nah, sekarang semuanya sudah jelas dan clear. Tak perlu lagi bawa-bawa nama Jokowi. Biarkan Pakde bekerja dengan tenang untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik dari pemerintahan zaman si mantan. Sekarang mau apa lagi?

Nuansa politis? Ahok juga mengalami hal yang sama.

Maunya kasus diundur? Sepertinya sulit, kasus Ahok juga tidak diundur. Ingat, equality before the law. Kalau nggak terlibat, ngapain takut, kecuali memang benar-benar terlibat. Berani karena benar, kalang kabut karena salah.

Bawa-bawa nama Jokowi? Saya sudah jelaskan Jokowi tak ada hubungannya. Polisi juga sudah tegaskan tidak ada hubungannya Jokowi dengan ini. Penggunaannya yang dipersoalkan. Tolong jangan bawa-bawa lagi nama Jokowi.

@xhardy



Kuis untuk Penghuni Bumi Datar


Untuk kasus dana Pramuka yang melibatkan bu Sylvi dan menyeret Jokowi, penjelasan sederhananya begini :

Si bapak dapet gajian. Gajian kemudian dibagi-bagi sekian untuk belanja, sekian untuk bayar listrik, sekian bayar sekolah dan lain-lain.
Uang belanja kemudian dikasih ke emak sesuai jatah yang ditetapkan.

Ternyata sebagian uang belanja dipake emak untuk beli celana dalam berenda karena teman arisannya jualan, sehingga uang belanja akhirnya kurang.

Apakah..

A. Si bapak yang salah karena ngasih uang belanja?

B. Si emak yang salah karena ternyata tidak semua dipake belanja?

C. Jonru salah karena jualan celana dalam..

Atau 

D. Jonru salah karena gak pakai celana dalam.

@dh


Curhat Politis ala SBY

DUNIA HAWA - Baru-baru ini, tepatnya 20 Januari 2017, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali menggembarkan nitizen dengan tontonan keluh-kesahnya di media sosial. Melalui akun twitternya @SBYudhoyono, akun resmi yang dikelola khusus oleh staf pribadinya, SBY tampak prihatin sekali pada kondisi bangsa.


Dilihat dari isinya, SBY hendak mengatakan bahwa kondisi bangsa atau negara hari ini tengah dilanda masalah yang tak kecil. Juru fitnah dan penyebar hoax diyakini berkuasa dan merajalela di mana-mana. Merekalah yang bagi SBY adalah biang keladi atas amburadulnya kondisi bangsa. Alhasil, rakyat dan kaum yang lemah dinilai SBY tak mampu meniti harapan akan kemenangan-kemenangannya.

“Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar “hoax” berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yang lemah menang?” tulisnya dengan *SBY* sebagai tanda bahwa itu twit pribadinya, bukan dari staf pengelola akunnya.

Sejenak membaca twit SBY di atas, bolehlah kiranya jika saya menyebutnya sebagai curahan hati atau curhat. Karena memang, secara makna, curhat adalah tindakan seseorang yang menceritakan sesuatu, mengumbar hal-hal personalnya. Baik itu kepada orang-orang terdekatnya, maupun kepada sang pencipta sebagaimana yang SBY tunjukkan. Sebuah cara berbagi isi hati yang mainstream yang bisa kita dapati di belahan dunia medsos apa dan manapun.

Meski demikian, sebagai seorang politisi, apalagi dirinya adalah mantan Presiden RI, tentu tak salah juga jika curhat SBY ini lebih saya maknai sebagai “curhat politis”. Bahwa curhatnya jelas berbeda dengan curhat-curhat orang pada umumnya; secara makna, berbeda dengan insan yang lagi kasmaran; berbeda dengan si doi yang lagi dirundung sepi karena putus cinta; maka tujuan curhatnya pun jelas berbeda. Tujuan curhat inilah yang jadi topik utama tulisan saya kali ini.

Politik Keprihatinan


Prihatin adalah kondisi di mana seseorang tengah dilanda rasa sedih hati, was-was, bimbang, yang biasanya dipicu karena usahanya gagal atau mendapat kesulitan atau hambatan. Pada SBY, berdasar pada curhatnya di atas, kondisi inilah yang juga tengah melanda dirinya.

Seperti yang bisa kita baca, SBY jelas tengah mempersepsi kondisi negara berada dalam kondisi yang amburadul. “Ya Allah, Tuhan YME, Negara kok jadi begini” adalah untaian kata-kata yang seolah mengklaim bahwa kondisi negara di bawah kepemimpinannya jauh lebih baik daripada kondisi negara setelah dirinya berkuasa.

Meski ada indikasi ke arah kritik atas kepemimpinan Jokowi, tetapi bagi saya bukan itu yang jadi sasaran tembak dari kata-katanya. Saya yakin betul bahwa kondisi yang dimaksud adalah kondisi yang tengah melanda eksistensi anaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Calon Gubernur.

Kita tahu, Calon Wakil Gubernur AHY Sylviana Murni tengah dilanda masalah atas dugaan tindak pidana korupsi. Terhitung sejak pasangan ini resmi diusung oleh partai Demokrat dkk sebagai Cagub-Cawagub Pilkada DKI Jakarta 2017, sudah 2 (dua) kali Sylvi dikait-kaitkan dengan tindakan tercela berupa korupsi ini.

Belum juga usai soal dugaan kasus korupsi pembangunan masjid Balaikota, kabar tak sedap lainnya kembali terkuak pada dugaan korupsi dana Bansos Pramuka. Mau tak mau, kedua kasus ini harus melibatkan Sylvi sebagai penanggungjawab. Pertama sebagai Walikota yang saat pembangunan masjid tersebut berlangsung; kedua sebagai Ketua Kwarda Pramuka DKI Jakarta periode 2013 – 2018.

Di tengah jerat kasus tersebut, wajar kiranya jika SBY mengungkap keluh-kesahnya pada pada Tuhan YME. Sebab, jika sampai Sylvi terbukti melakukan tindak pidana korupsi, maka sang anak (AHY) jelas tidak akan mampu memenangkan pertarungan di Pilkada depan.

Memangnya siapa yang mau milih koruptor sebagai pemimpin? Hanya jika hilangnya kewarasan sajalah dari warga pemilih baru itu bisa terjadi. Di luar itu, saya kira mustahil.

Ya, yang ingin SBY utarakan tak lain adalah bahwa isu korupsi yang menyeret Cawagub anaknya adalah fitnah dan kabar “hoax”. Melalui curhat politisnya, SBY tampak sekali ingin menggiring opini publik demi meraih dukungan untuk Sylvi agar bisa terbebas dari kasus yang melandanya. Sebab, jika publik DKI benar-benar termakan curhatan politis SBY, maka bukan hal yang tidak mungkin jika Syvli bisa terbebas tanpa syarat. Apalagi kita tahu, di negeri ini, tekanan massa seolah jauh lebih bertaring daripada produk hukum kita sendiri.

Guna meraih itu semua, dimainkanlah politik keprihatinan. Dan bukankah politik semacam ini pernah meraup simpati dan empati yang teramat besar? Tentu kita tidak lupa bagaimana strategi berupa politik keprihatinan ini massif dimainkan di tahun-tahun 2004 dan 2009. Ya, saat itu dirinya ikut dalam pertarungan Pemilihan Presiden. Hasilnya? Dua periode menjadi hasil konkritnya, bukan?

Sungguh, saya tidak mengada-ada dengan berkata bahwa SBY kini tengah dilanda kondisi prihatin. Sudah berapa kali kiranya SBY mempertontonkan kondisi batinnya yang demikian. Baik dalam pidato-pidato kenegaraannya sebagai presiden, orasi-orasi politiknya sebagai pemimpin partai, terlebih dalam twit-twit pribadinya sebagai salah satu pengguna media sosial. Maka tak salah jika banyak orang mengasosiasikan SBY sebagai “Bapak Prihatin”, sosok politisi dengan politik keprihatinan sebagai strateginya.

Ya, politik keprihatinan inilah yang kerapkali tergambar dalam permainan kata-kata seorang SBY. Sekedar beberapa contoh, ketika SBY mengetahui ada kantor perwakilan Papua Merdeka di Oxford, Inggris misalnya, sebagai seorang presiden kala itu, SBY hanya memberi respon dengan nada kecewa dan prihatin.

Konflik di negara-negara Timur Tengah juga sekedar mengundang keprihatinan darinya. Pun pada kondisi atau nasib persepakbolaan Indonesia, SBY hanya turut prihatin saja. Tak ayal jika SBY dinilai sebagai pemimpin yang mencacat rekor dalam hal 1000 kali menyebut kata “prihatin”.

Singkatnya, dengan politik keprihatinan, SBY hendak melepaskan beban penatnya atas kondisi yang melanda Sylvi. Baik karena Sylvi adalah Cawagub sang anak, maupun pasangan ini adalah usungan partainya untuk memenangkan pertarungan di Pilkada DKI Jakarta 2017.


@maman suratman


Ketika Islam Menjadi Tertawaan

DUNIA HAWA - Sungguh menyedihkan Islam di negeriku..

Petunjukku, jalanku, keselamatanku

Penuntunku, pencerahku, penutup lukaku
Diarak kemana-kemana oleh para pengaku..


Ada para pencuri yang tertangkap dan berlindung dibalik jubahnya

Ada yang menipu harta umat mengatasnamakan kebenarannya

Ada yang membesarkan ajarannya dengan kebohongan..

Ada yang menekan umat lain atas nama firman..

Ada yang menyampaikannya dengan jumawa dan menyakitkan

Ada pula yang meneriakkannya dengan salah atas nama kebenaran

Ada yang berargumen memakainya dengan ketololan

Ada pula yang memaknai surga yang tertera dengan kerendahan

Ada yang berteriak, "semoga kalian mendapat hidayah !"

Tetapi perilakunya membuat banyak orang resah

Ada yang sombong mengatakan bahwa ini agama toleran

Tapi ia terus memukul atas nama Tuhan
Ada yang menganggap bahwa dirinya adalah orang yang paling paham

Disisi lain ucapannya membuatnya banyak ditertawakan..

Ada yang mengaku bahwa ia keturunan pembawanya

Tapi sedikitpun ahlaknya tidak tampak padanya..

Ada yang..

Ah, tidak perlu kuteruskan karena sungguh memalukan..

Islam dinegeriku menjadi bahan tertawaan

Ternista dengan sendirinya oleh para pembelanya

Ajaran cinta yang malah menjadi pedang
Lalu bagaimana mereka bisa bilang bahwa ini agama yang paling benar?

Nabiku menangis dengan perih

Karena apa yang ia katakan menjadi kenyataan

Umatku banyak di akhir zaman

Tapi mereka seperti buih di lautan

Dan aku harus mengakui dengan getir

Mereka saudara seimanku meski mereka kenthir

Dibalik tertawaku melihat banyaknya kebodohan

Setiap tulisanku adalah airmata yang mengalir..

Hanya secangkir kopi yang bisa kupegang

Mencoba waras ditengah semua kegilaan

Ternyata bagi mereka adalah kekafiran.

@denny siregar


Kasus Penodaan Agama Makin Politis

DUNIA HAWA - Kasus penodaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) semakin hari makin terkuak adanya unsur politis. Setelah berbagai drama dimainkan oleh oknum-oknum politisasi agama yang berujung penetapan Ahok sebagai tersangka, kini saksi-saksi yang dihadirkan pelapor dalam persidangan Ahok makin tidak jelas.


Tuduhan tak berdasar


Sampai saat ini tidak ada bukti kuat yang ditunjukan pelapor bahwa Ahok telah menista Agama. Saksi-saksi yang dihadirkan oleh pelapor tidak berkompeten dan sangat tidak bernilai dimata hukum. Di setiap persidangan, kebohongan-kebohongan terus dipertontonkan oleh aktor-aktor politisasi agama.

Berikut ini berbagai fakta adanya unsur politis dalam kasus penodaan agama ini. 

Pertama, tak ada satupun saksi fakta yang dihadirkan pelapor yang menyaksikan langsung pidato Ahok bahwa ia menista agama. Semua saksi tidak mengalami dan mendengarkan langsung pada saat kejadian, mereka hanya melihat tayangan dari video dan transkrip pidato Ahok yang telah diedit.

Kedua, para saksi menuduh Ahok melakukan kampanye terselubung di Kepulauan Seribu. Padahal kedatangan Ahok ke Pulau Seribu merupakan sosialisasi program kerja sama Pemerintah Provinsi DKI dan Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta dalam bidang perikanan, termasuk memberikan bantuan 4.000 benih ikan kerapu.

Ketiga, pelapor memfitnah Ahok. Para saksi yang dihadirkan mengakui bahwa sumber video yang ditonton merupakan video yang telah diedit oleh Buni Yani sehingga bisa dipastikan tidak lagi orisinil. Hal ini menunjukkan bahwa saksi pelapor menjadikan video yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya sebagai rujukan bahwa Ahok menista agama.

Keempat, pelapor mempunyai dendam pribadi terhadap Ahok. Salah satu saksi, Novel Chaidir Ba Mukmin pernah dipenjara melakukan tindakan kriminal yang berkaitan dengan Ahok sendiri. Novel, pada 2014 dikenakan pasal berlapis karena keterlibatannya pada demo penolakan Ahok yang berujung rusuh di depan gedung DPRD Jakarta.

Kelima, saksi yang dihadirkan pelapor terdiri dari ormas yang mengkriminalisasi Ahok. Muhsin AL-Athos dan Novel Chaidir Ba Mukmin merupakan anggota ormas dari FPI, yang sejak awal menggunakan berbagai cara untuk menjegal politik Ahok. Mereka menganggap non-muslim tidak boleh menjadi pemimpin.

Keenam, saksi tidak hadir karena diketahui publik telah berbohong. Kedua saksi, Muhammad Asroi Saputra dan Iman Sudirman tidak berani hadir dalam persidangan karena keterangan yang akan dismpaikan dengan BAP yang dilaporkan telah diketahui publik mengandung unsur kebohongan.

Semua fakta ini sungguh kebohongan sistematis yang dipertontonkan hanya demi kepentingan politik semata. Keterangan saksi-saksi yang tak berdasar itu adalah character assassination (pembunuhan karakter) terhadap mental bangsa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kasus Ahok bukan suatu pelanggaran hukum, namun pelampiasan kebencian suatu golongan terhadap Ahok.

Mereka yang mendengar dan menyaksikan langsung pidato Ahok di Kepulauan Seribu, tidak sedikitpun menganggap sebagai penistaan agama. Faktanya, tidak ada protes dari masyarakat Pulau Pramuka yang mana mayoritas mereka adalah masyarakat Muslim. Berbeda dengan para pelapor Ahok yang mengedepankan egoisme pribadi dengan menggunakan agama untuk kepentingan politik semata.

Apalagi tuduhan penodaan agama ini diperkuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan sikap keagamaan bahwa pidato Ahok telah menista agama. Suatu tindakan yang bertentangan dengan prinsip Pancasila, sebab efeknya bisa memecah belah persatuan bangsa karena tak sesuai fakta. Terlebih fatwa MUI dipahami sebagai hukum positif yang harus segera ditindaklanjuti.

Bahaya Politisasi Agama


Isu-isu yang dibangun melalui suku, ras, agama, antargolongan (SARA) ini semestinya harus dihindari agar pemilihan kepala daerah menjadi momentum bagi rakyat untuk menentukan pemimpin berdasarkan rekam jejak dan kinerja. Sungguh perilaku buruk menjadikan agama hanya untuk kepentingan politik jangka pendek. Karena tindakan itu sama artinya mengotori kesucian agama itu sendiri.

Dalam al-Qur’an Allah mengingatkan, hendaknya kaum beriman tidak menjual murah ayat-ayat Allah dengan imbalan keduniaan yang remeh. Artinya, tidak diperbolehkan seseorang apalagi agamawan mengeksploitasi ayat-ayat Tuhan sekedar menjadi wahana untuk mencapai kepentingan praktis keduniaan.

Menurut Imam al-Ghazali, ada dua kategori ulama di dunia ini, pertama, ulama Al-Syuk, yaitu ulama jahat yang mensubordinasikan kepentingan agama di bawah kepentingan keduniaan. Ulama tipe ini kerap menjual ayat dengan murah dan mencarikan justifikasi atau pembenaran murahan dengan mengambil dalil-dalil agama maupun logika tertentu agar tujuan politik penguasa dapat dicapai meskipun dengan membodohi masyarakat.

Kedua, ulama Al-Khair, yakni ulama kebajikan yang sangat hati-hati dalam menerapkan ijtihad dan tidak pernah gegabah untuk mengeksploitasi atau menyalahgunakan agama dengan cara menjual ayat untuk kepentingan praktis politik keduniaan.

Oleh karena itu, ulama hendaknya bersama-sama belajar lebih arif lagi dan memegang agama sesuai dengan kehendak agama itu sendiri. Jangan jadikan agama sebagai tameng untuk mendelegitimasi seseorang agar tidak menjadi pejabat publik. Karena itu sama artinya menentang prinsip konstitusi negara, yaitu setiap warga negara Indonesia mempunyai hak menjadi pejabat publik.

Dalam Fikih, para penentang terhadap pemimpin yang sah disebut sebagai bughot atau pemberontak. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk membubarkan ormas bughot yang kerap memecah belah persatuan negara-bangsa Indonesia.


@ahmad hifni