Friday, October 27, 2017

Bersyukur, Bukan Bersabar


DUNIA HAWA “Kenapa sulit sekali mencari peluang usaha?”.

Seorang teman mengeluhkan bagaimana sulitnya dia mencari peluang usaha saat ini.

Hidup seakan tidak bersahabat dengannya. Dia yang dulu seorang kontraktor kelas menengah proyek pemerintahan, sekarang tersingkir habis karena begitu sulitnya mengikuti persyaratan.

Kuajak dia nongkrong sejenak minum kopi karena biasanya dalam secangkir kopi banyak cerita menarik.

Aku pernah mengalami situasi yang mirip dengannya dulu. Betapa sulitnya mencari peluang ketika usahaku terhempaskan. Seperti jatuh dari tebing dan tubuh meluncur deras ke karang tanpa ada satupun ranting yang bisa kupegang untuk bertahan.

Hari-hariku penuh amarah. Keluh kesah membabi-buta bahkan kubawa sampai ke rumah. Aku sebenarnya sedang memaki diriku sendiri yang tidak berdaya, tapi orang sekitar yang terkena.

Sampai pada satu waktu aku bertemu teman lamaku. Dan dia menegurku kenapa wajahku selalu tertekuk? Dan akhirnya kucurahkanlah segala gelisahku kepadanya.

Dia tertawa. Keras sekali. Aku sampai heran, bagaimana bisa dia mentertawakan situasiku yang sedang pahit?

“Bagaimana kamu bisa melihat peluang dengan semua kegalauanmu? Ya pasti sulit, karena akalmu sedang diliputi awan hitam yang sinar matahari saja sulit mencari celah masuk. Jikapun ada peluang datang tepat di depan matamu, kamu tidak akan bisa melihatnya malah menjauhinya..”

“Lalu bagaimana cara bisa melihat sebuah peluang ?” Tanyaku dengan heran.

Akhirnya temanku tersenyum sambil menyeruput kopi panasnya.

“Bahagiakan dirimu. Bukan bahagia yang berpura-pura tetapi benar-benar bahagia. Kebahagiaan itu tidak bisa dicari, ia hanya bisa diciptakan dalam diri..”

Senyumnya menenangkan..

“Kebahagiaan itu seperti magnet, ia akan menarik kebahagiaan-kebahagiaan lain di sekitarnya. Bahagia akan membuka celah di ruang akal yang tertutup kabut, sehingga cahaya bisa masuk. Dengan semakin tipisnya kabut yang menyelimuti akal, maka pandangan akan menjadi lebih terang sehingga peluang pun terlihat bertebaran di sekitar..”

Wah, menarik juga teorinya. Tapi ada satu yang harus kutanyakan lagi padanya, “Bahagia apa yang tidak berpura2 ?”

Diseruput kopinya sampai tandas dan ia mendekatkan wajahnya kepadaku. “Bersyukurlah selalu dalam hidupmu, di setiap langkahmu, di setiap tarikan nafasmu.

Bersyukur, bukan lagi bersabar.

Itulah pusat kebahagiaan sejati karena pada akhirnya kita paham bahwa dalam kesulitanpun selalu ada nikmat disana..”

Dan benar, aku merasakan betul perubahan dalam hidupku baik secara material maupun spiritual ketika mengikuti kata-kata temanku. Dan akan kubagikan ke temanku kontraktor ini. Semoga dia bisa menjadikannya pegangan dalam kesulitan.

Secangkir kopi lagi terhidang. Ini malam yang panjang...

@denny siregar 

Sunday, October 22, 2017

Terima Kasih Pak Anies, Pak Sandi



DUNIA HAWA Terimakasih pak Anies-Sandi.. Ternyata saya baru tahu kenapa warga Jakarta lebih banyak memilih anda untuk memimpin kota ini daripada Ahok.

Ketika Ahok memimpin, bawaannya tegang mulu. Selalu ada amarah dan bentakan. Warga Jakarta kurang enjoy dengan semua itu, karena hidup mereka sudah sulit.

Mana panas, macet dimana-mana, kalau hujan banjir. Mereka tegang setiap hari, dan Ahok malah menambah ketegangan mereka.

Tapi zaman bapak Anis Sandi beda, beda banget..

Bapak berdua sungguh menghibur. Ada saja lawakan yang diberikan kepada kami supaya kami tertawa. Ada saja perilaku bapak berdua yang membuat kami rileks dan bersenda ria.

Waktu bapak ngomong pribumi, sontak banyak meme yang bicara pribumi. Apalagi waktu bapak Anies klarifikasi bahwa itu maksudnya pribumi di masa kolonial Belanda yang hanya ada di Jakarta, semua langsung kreatif membikin kata-kata kocak, "Belanda ngapain ke Bandung? Beli peyempuan..."

Belum tingkah pak Sandi yang suka mbanyol. Gaya bangaunya itu lhoo... membuat kami terpingkal. "Kok bisa ya wagub bisa sekonyol itu ? Gak jaim orangnya, asik juga.." Sungguh menbuat kami merasa menjadi generasi milenial kembali..

Kami juga jadi asik waktu bapak barengan naik motor. Mesra sekali, seperti Ropik dan Juleha. Kemana-mana berdua. Duh, jomblo mana yang gak kepengen seperti itu ? Gubernur aja gandengan, masak kamu nggak?

Kami tahu kok, masalah janji bapak untuk menutup Alexis itu becanda kaaaan? Kami tahu kok, pak.. Reklamasi juga. Bapak bisaan becandanya..

Dan asiknya lagi, 5 tahun ini akan penuh dengan canda ria. Serasa Warkop DKI, Srimulat, Bagito ma Kwartet S tampil sepanggung kembali. Rame pastinya dengan tingkah dan kelucuan spontan yang tercipta.

Inilah yang gak dipunyai Ahok, yang bawaannya tegang terus. DPR beli UPS, ribut. DPR bikin anggaran seenak udelnya, ribut lagi. Sumpah, gada lucu-lucunya zaman Ahok..

Sebagai Gubernur zaman now, tentu Pak Anies Sandi paham sekali bagaimana bisa membuat warga Jakarta lupa akan masalahnya sehari-hari. Kita kurang hiburan, hibur kami pak, tolong hibur kami...

Saya yakin semua itu gak dibuat-buat. Spontan dan mengalir saja. Seperti ada bakat ngelawaknya bapak berdua. Terimakasih, Tuhan.. Engkau sudah menghadiahkan kami penimpin yang bisa menghibur kepenatan kami..

Saya aja, setiap kali bapak berdua muncul di media langsung ketawa kebahak-bahak. Pasti ada aja ulahnya, sampe kopi saya tumpah saking gak kuat nahan geli.. Terbaik, terbaik...

Terimakasih bapak, nanti kapan-kapan saya terbitkan buku "Mati ketawa cara Anies Sandi".

Katanya, menghibur orang itu ada pahalanya loh pak. Sungguh... Gak percaya ? Yah, Percaya cukur, gak percaya gondrong...

Semoga Tuhan membalas kebaikan pak Anies Sandi selama memimpin dengan gaya berbeda...

Salam seruput kopi, pak...

@denny siregar 

Saturday, October 21, 2017

Sperma untuk Kecantikan Kulit Wajah, Mitos atau Fakta?


DUNIA HAWA Bagi sebagian wanita, urusan kecantikan memang selalu menarik untuk dibicarakan. Termasuk soal perawatan wajah menggunakan masker. Salah satu informasi yang banyak beredar adalah mengenai penggunaan sperma sebagai masker wajah. Benarkah bermanfaat?

Sperma mengandung banyak nutrisi, yang jika ditelusuri satu per satu, memiliki manfaat bagi kulit. Kandungan yang terdapat pada sperma antara lain protein, zink, magnesium, kalsium, potasium, dan fruktosa yang bermanfaat untuk menutrisi dan melembabkan kulit.

Selain itu, sperma mengandung spermin. Ini adalah antioksidan kuat yang dapat membuat kulit awet muda lebih lama, menghaluskan kulit, meratakan kerutan, serta mengobati jerawat.

Bahkan, sebagian pabrik kosmetik mengklaim bahwa spermin memiliki kekuatan antioksidan 30 kali lebih efektif dibanding vitamin E, dan dapat mengurangi proses penuaan sebesar 20%. Karena berbagai kandungan tersebut, sperma dipercaya dapat digunakan sebagai masker wajah.

Kendati demikian, sperma dapat menularkan penyakit seperti hepatitis B, hepatitis C, HIV/AIDS, sifilis, gonore, herpes, dan lainnya. Karena itu, pastikan ‘donor sperma’ Anda bersih dan bebas dari penyakit-penyakit tersebut.

Tak hanya penyakit, sperma atau air mani juga dapat menimbulkan gejala reaksi alergi pada beberapa orang-orang. Gejala alergi yang timbul bervariasi –mulai dari ruam kemerahan, gatal, biduran, hingga dapat menimbulkan jerawat lantaran kadar testosteron (hormon pria) yang tinggi pada sperma.

Jika menggunakan sperma yang terlalu kental, kadar kandungan-kandungan di dalamnya pun bisa menjadi terlalu tinggi. Bukannya mendatangkan keuntungan, urea, fruktosa, dan spermin justru dapat menimbulkan iritasi pada kulit wajah.

Namun, terlepas dari semuanya itu, sudah ada perusahaan kosmetik Norwegia yang menjual krim wajah berbahan dasar sperma dengan harga yang fantastis, yakni 250 dollar atau setara dengan Rp3.375.000.

Sperma memang memilki kandungan nutrisi yang besar. Namun, penggunaannya sebagai masker wajah untuk kecantikan kulit masih controversial dan dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

@klikdokter

Thursday, October 19, 2017

Pak Prabowo, Hati Hati dengan Anies


DUNIA HAWA Daripada terus meributkan konteks Pribumi, mari kita lihat bagaimana isu ini digunakan untuk kepentingan Pilpres 2019.

Sejak awal kita melihat serangan kepada Jokowi selalu dengan isu yang ada "Cina-Cina"nya. Mulai dari tenaga kerja Cina, PKI yang ada komunis dan disana ada negara China, 9 naga sampai penguasaan ekonomi oleh keturunan Tionghoa..

Dan ini membangun sebuah stigma yang dilekatkan ke Jokowi bahwa ia "Pro Cina". Isu ini terus menerus digulirkan lewat pesantren-pesantren sampai media sosial.

Di kalangan bumi datar, isu ini termasuk laris manis. Dimunculkan "monster" sebagai lawan bersama. Dikuatkan dengan berbagai berbagai gambar dan berita hoax, bahwa Cina sudah menguasai negeri ini.

Oke, ketika isu sudah menguat, harus ada superhero yang muncul untuk "membasmi semua kejahatan ini".

Superhero itupun muncul dengan menggunakan kata "Pribumi". Dan inilah superhero yang ditunggu-tunggu sebagai pelampiasan atas kesulitan ekonomi yang selama ini mendera mereka.

Superhero ini muncul saat pelantikan Gubernur DKI, bernama Anies Baswedan..

Perkataan "Pribumi" itu bukan sebuah kecelakaan, bukan juga untuk menggambarkan masa kolonial, tetapi untuk membangkitkan kebanggaan mereka yang merasa dirinya pribumi.

Sebuah supremasi...

Anies dan teamnya tentu belajar dari pemilu di AS, dimana Donald Trump menang dengan isu Supremasi Kulit Putih. Trump menggunakan isu untuk mengembalikan ekonomi kepada "warga AS asli" dan mendapatkan simpati dari mereka yang kesulitan secara ekonomi akibat resesi.

Isu itu juga dipakai Sebastian Kurz, Presiden Austria termuda di dunia yang baru saja menang pemilu - berusia 31 tahun - dengan jargon "Austria yang utama". Isu yang kembali menjanjikan bahwa warga lokal akan mendapat tempat lebih dulu dalam ekonomi.

Dan dari kedua kasus itu, kita akhirnya mengenal bahwa isu Pribumi itu menjadi seksi, seperti gadis muda nan semlohai yang melenggok dengan senyum manis dan rambut dikibaskan untuk menggoda pria.

Apalagi pria itu sedang tertekan secara ekonomi, kalah dalam kompetisi dan tidak mendapat pengakuan dari lingkungan sekitar sebagai seorang lelaki.

Anies sangat paham itu. Dan ia akan menempatkan dirinya sebagai rival kuat Jokowi..

Loh, lalu bagaimana dengan Prabowo yang sudah mimpi menjadi Presiden setiap hari?

Dari berbagai survey, ternyata popularitas Prabowo sulit untuk naik melawan Jokowi.

Jika head to head di Pilpres 2019, kemungkinan besar Prabowo kalah. Karena pertama, ia sudah dianggap sebagai "old skool" atau orang lama. Dan kedua, ia tidak mewakili pribumi muslim, ia lebih pas dikategorikan sebagai mantan tentara.

Titik inilah yang sulit menaikkan popularitas Prabowo untuk memenangkan pertarungan, sehingga harus dicari "darah baru" untuk melawan Jokowi nanti.

Dan untuk menaikkan popularitas Anies, dikeluarkanlah kata "Pribumi" yang akan menjadi perbincangan nasional, sekaligus menaikkan hasil surveynya sebagai Capres mengalahkan Prabowo.

Dari bisik-bisik tetangga, skenario ini adalah skenario yang sedang terjadi...

Anies ingin mengulang kesuksesan Jokowi yang menang menjadi Gubernur DKI dulu, untuk kemudian menang di Pilpres 2019 nanti. Dan inilah waktu yang tepat, karena namanya sedang naik-naiknya. Mangkanya, ia lebih senang berpidato daripada bekerja nantinya...

Dan Prabowo akan mengalami dejavu kedua..

Sesudah Pilpres 2019 ia merasa dicurangi oleh Megawati karena seharusnya PDI-P mendukung dia, kali ini ia akan ditelikung oleh pilihannya sendiri karena partai-partai Islam akan merapatkan diri ke Anies sebab ia lebih mewakili "pribumi yang muslim".

Karena itu, hati-hati pak Prabowo. Jangan sampai bapak banting hape lagi..

"Terus, kapan gua jadi Presidennyaaaaaa?".

Sini pak, kita minum kopi...

@denny siregar 

Sunday, October 1, 2017

Masih Relevankah Kesaktian Pancasila?


DUNIA HAWA Pertanyaan yang menarik jika berkaitan dengan Kesaktian Pancasila. Akan datang pro dan kontra, apalagi jika berkaitan dengan komunisme. Hal ini beda kasus dan perlu artikel yang berbeda. Kali ini  melihat dari kaca mata kekinian dan sikap bersama sebagai anak bangsa.

Suatu hari dalam kolom komentar salah satu artikel, ada yang menuliskan, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika disukai minoritas, terutama kalangan China dan Kristen, paling tidak secara garis besar demikian.  Lho hebat ya orang bisa menerka hati dan pikiran orang lain, dan sependek ingatan saya, jauh dari ulasan dalam artikel itu.

Pancasila dipilih oleh bapak-bapak pendiri bangsa untuk menjadi jembatan yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan yang begitu banyak. Perbedaan jika dibesar-besarkan tidak akan pernah usai, namun dengan kebijaksanaan, keterbukaan, kerendahhatian para pembangun bangsa semua tercipta dengan indah.

Bagaimana tidak perlu Pancasila ketika orang lebih mudah menuding kafir, komunis, bagi orang yang tidak sepaham, ingat sepaham, bukan hanya beda agama. Entah setan macam mana yang merasuki komponen orang yang dalam KTP-nya jelas-jelas menyantumkan agamanya. Dengan mudah mengucapkan salam dan kata-kata suci dalam seluruh acara apapun itu. Pakaian pun bisa melambangkan kesucian seseorang bagi segelintir kelompok. Atau dengan mudahnya membubarkan acara keagamaan karena kelompok ini hanyanya kelompok yang kecil sekali di dalam masyarakat tertentu. Ingat semua agama dan kelompok telah teracuni masalah ini.

Bagaimana kemanusiaan itu benar-benar beradab ketika perilaku biadab lebih menggejala. Penonton bola mati karena perilaku bar-bar oleh sesama penonton. Budaya senggol bacok, lebih mendominasi daripada budaya saling sapa dan ramah tamah yang dulu begitu dibanggakan. Ternyata masih sebatas konsep dan wacana yang masih belum menjadi gaya hidup. Persatuan kelompokku merajalela. Keindonesiaan bisa  beraneka ragam seturut kepentingan. Bagaimana pagi mengatakan A siang B dan malam bisa C. Konsistensi jauh dari harapan dan itu merongrong kebersamaan sebagai satu bangsa. Lebih memperbesar penemuan perbedaan daripada persamaan. Perbedaan susah untuk bisa membangun persatuan. Pluralitas adalah anugerah yang selama ini kelihatannya hendak dipaksakan sama oleh segelintir kelompok dan pihak.

Musyawarah dan mufakat sudah jauh dari cita-cita luhur, aku menang dan aku kuat menjadi gaya hidup. Demokrasi akal-akalan bisa dengan semudah membalik telapak tangan tercapai. Demonstrasi atas nama demokrasi untuk memaksakan kehendak, jelas saja perilaku munafik yang telah menodai pula ciri keagamaan berbangsa dan bernegara yang katanya memiliki dasar negara bernamaa Pancasila. 

Mudahnya orang memaksakan kehendak dalam berbagai-bagai bidang. Bagaimana hal ini bisa ditoleransi jika tidak memiliki landasan yang sama. Sikap menang kalah menjadi gaya hidup bersama. Bagaimana kebebasan dimaknai bebas berbuat apa saja. Padahal jelas kalau kebebasan pribadi akan juga bersinggungan dengan kebebasan milik orang lain. Tidak ada kebeasan absolut, termasuk mengatakan ini itu, mungkin normal bagi satu pihak, bisa sangat melukai pihak lain.

Bagaimana mungkin adanya keadilan jika orang masih berpikir keakuan, egoisme, dan mementingkan diri dan kelompok. Hukum masih awas padahal keadilan seharusnya buta. Kain penutupnya itu telah digerogoti tikus berdasi yang bernama suap dan kolusi. Keadilan masih menjadi elitis bagi bangsa besar bernama Indonesia ini. pajak yang terkumpul menjadi bahan bancaan, proyek apapun namanya menjadi santapan lezat, rakyat hanya menerima keadaan sisa untuk pembangunan. Tidak heran ketika dengan mudah bangunan yang baru usai diresmikan sudah rusak lagi. Proyek abadi di mana-mana, namun kekurangan dan kerusakan di tempat lain tanpa pernah mendapatkan sentuhan magis pembangunan.

Pancasila di era lalu memang pernah menjadi masalah karena penyalahgunaan oleh oknum penguasa. Pancasila tetap tidak salah karena memang nilai-nilai luhurnya baik dan bagus bagi bangsa dan negara. Pemersatu yang paling menjanjikan, apapun latar belakangnya. Satu yang perlu menjadi bahan pembelajaran bersama yaitu sikap untuk rendah hati dan bersikap menang-menang, bukan menang kalah dalam kehidupan bersama.

Konsep mayoritas minoritas bentukan penjajah eh malah diadopsi, dipilih, dan dijadikan gaya hidup oleh sekelompok orang untuk mendapatkan kekuasaan atau kepuasan. Tentu ironis jika hal ini terjadi di dalam bangsa modern yang telah makan asam garam perjuangan. Santapan empuk untuk memecah belah.

Miris ketika agama malah justru menjadi alat pemecah belah. Lebih menyedihkan dalam satu agama, bukan beda agama. Candaan soal agama, suku, bisa menjadi persoalan besar, padahal dulunya hal yang sangat biasa, natural, alamiah, dan sehari-hari. Semua itu kini ke mana?

Salam


@susy haryawan